Antah-Berantah

Ini adalah dunia Antah-Berantah dimana identitas tidaklah diperlukan. Jalannya mudah kau temukan. Kau bisa melalui anak tangga menuju sekolah atau kampus. Kau juga bisa mengenalinya di dalam gedung-gedung pemerintahan atau bahkan pintu masuk sebuah bis. Tentu jika kau punya sepasang mata dan juga akal sehat. Kau pasti bisa segera mengenalinya.mm0006

Masyarakat disana punya satu ciri, mereka selalu mengenakan topeng. Bagi mereka yang punya akal sehat namun tidak sengaja tersasar ke dunia macam itu, mereka pasti segera mengenali bahwa mereka sedang ada diantara penduduk Antah-Berantah. Penduduk di sana tidak jarang mengatakan hal-hal yang sebaliknya dari kenyataan. Misalkan ketika kau duduk di kelas dan sang guru buta warna antara hijau dan biru. Ketika sang guru menjelaskan warna hijau untuk warna langit, maka kau harus mengangguk jika tidak ingin disuguhi pelototan dari anak lain.

Dulu pernah ada seorang anak tersasar ke negeri itu. Dia tidak sengaja menelusuri lorong pertemuan antara dunianya dan dunia Antah-Berantah. Betapa terkejutnya anak itu ketika melihat semua orang mengenakan topeng. Ada yang berbentuk rusa, kucing, anjing, wajah wanita cantik, pria tampan, dan juga om-om berdasi yang terlihat keren. Hanya dirinya yang tidak mengenakan sehelai benangpun untuk menutup wajahnya.

Tak berapa lama alarm kebakaran berdengung keras. Anak laki-laki itu sontak terkejut melihat puluhan petugas berbaju merah mengelilinginya seolah dia api. Satu dari lelaki besar itu menutup wajahnya dengan sebuah topeng kayu bergambar serigala. Dan anak itupun merasa ketakutan berada di antara orang-orang yang kini menatapnya, menyalaminya, dan juga memeluknya satu per satu.

Seseorang berbisik di telinganya, “Nah … kini kau bagian dari kami, dari dunia ini. Hebat bukan? Topeng ini menyembunyikan siapa kita sebenarnya.”

Remaja berusia tujuh belas tahun itu meremang bulu kuduknya. Sesuatu yang dilontarkan orang itu terasa sangat mengganggu.

Mereka mengenakan topeng.

Mereka mencoba meniru siapa yang mereka impikan.

Mereka berbaur supaya tidak dipandang aneh.

Mereka turut pada aturan aneh yang tak masuk akal.

Mereka rela kehilangan dirinya asal merasa diterima.

Mereka tidak punya identitas di balik topengnya.

Mereka mimikri.

Benarkah?

gf_mask1

Laki-laki remaja itu berlari meninggalkan kerumunan. Melempar topeng serigala abu-abu itu jauh-jauh. Dia menyusuri kembali jalan masuk, berharap pintu masuknya masih terbuka. Dia ingin pulang. Kembali melihat dunia dimana orang bisa menerima perbedaan. Dia tidak ingin kehilangan apa yang paling penting baginya.

Jati diri.

Jikoshi

.

.

.

Sayonara itsuwarino … sekai

Dareka?

doa-ibu-untuk-anak

“Ma, tolong baju aku dicuciin, terus nanti kalau Anisa pulang bajunya juga sekalian dibukain terus dicuci, soalnya minggu mau dipake lagi buat tur. Terus nanti Mama masaknya jangan banyak-banyak, aku sama Mas Reza pulang malam. Udah ya, Ma. Tenang nanti aku bayar.”

Semua tugas yang dititahkan pada wanita setengah abad itu dicernanya baik-baik. Pertama dia harus mencuci sementara cucunya di Tk, setelah itu menjemput Anisa yang baru saja menginjak usia enam tahun dari Tk, kemudian memasak. Berpikir bahwa akan lebih mudah dulu apabila dia memasak dan mencuci lalu menjemput Anisa, maka Wanita itu memilah-milah pakaian mana yang luntur dan tidak bisa dicampur.

Wajahnya sudah berkerut sana-sini, kata muda sudah jauh ditinggalkan. Kini dia hanya seorang wanita tua setengah abad dengan tiga anak yang sudah menikah semua. Tangannya yang dulu cantik dan jemarinya yang lentik sekarang tak ubahnya carut kulit pohon, begitu banyak lekukan tak beraturan terpatri permanen. Bukannya semakin senja usia pekerjaan semakin sedikit tapi malah semakin banyak. Beban hidup sebagai pengangguran dan harus menghidupi suami yang juga pengangguran kini dipikul di atas pundaknya.

Anaknya sudah besar semua, tapi dia tidak bisa mengharapkan apapun dari mereka. Bahkan jika  dirinya kelaparan sekalipun mungkin anaknya tidak peduli, kecuali dia telah menuntaskan pekerjaannya sebagai nenek merangkap babu di rumah anak-anaknya.

Oh Tuhan … apakah ini takdirku sementara usiaku sudah tidak muda untuk diuji?

Terbayang kenangan beberapa tahun silam ketika mendiang suaminya yang pertama, yang juga ayah dari anak-anaknya yang sudah besar itu masih ada. Betapa dia begitu membenci mendiang suaminya yang sakit-sakitan. Sering memuntahkan isi perut dimana-mana, berjalanpun harus dipapah. Lalu seenaknya membuang isi kandung kemih di atas kasur yang baru saja kering. Sungguh dia menyumpahi supaya suaminya mati segera.

Tak tahan harus menjadi pembantu, dia memutuskan melirik pria lain. Mendiang suaminya masih hidup saat itu, sekarat lebih tepatnya, tapi dia tidak peduli. Anak-anaknya tahu mengenai perselingkuhan ibu mereka, tapi mau bagaimana? Merekapun sudah tidak peduli padanya. Sedari dulu wanita itu melimpahkan tanggung jawab mengurus anak-anaknya pada para kerabat. Yang padahal jika dilihat dari segi materi maupun jasmani, wanita itu masih sangat sanggup membesarkan anak-anak, apalagi sang suami masih sehat kala itu.

Wanita itu membenci anak-anaknya, bukan karena sindrom baby blues.

Sekalipun dia melahirkan mereka dari rahimnya, rasa benci itu tak kunjung padam. Bagai luka membusuk dalam daging yang terus menggerogoti rasa simpati pada buah hati kecilnya. Mungkin tidak terbayang ada wanita yang benci pada anaknya, tapi inilah dunia, dimana hal apapun mungkin terjadi. Mungkin wanita itu masih menyesali menikah dengan pria yang dulunya dia rebutkan dengan temannya hanya karena rasa iri. Atau mungkin juga dia kesal karena ternyata pria itu tidak sekaya suami temannya yang dia benci. Bisa jadi karena dia ingin menutupi rasa bersalahnya dengan membenci. Rasa bersalah dan malu pada dirinya sendiri yang teramat dalam hingga jika diumpamakan sebuah lubang maka dasarnya tak terlihat. Mungkin saja.

Dulu dia tidak suka memasak. Bahkan untuk dirinya sendiri. Tapi sekarang saat usianya tak lagi membiarkan raga melakukan aktivitas leluasa dia harus bekerja ekstra demi mendapat makan.  Apa ini yang namanya takdir?

Mesin cucinya berdengung seperti monster besar. Mulai menggiling pakaian kotor sementara beberapa fragmen memori terputar. Dia ingat saat ingin mencoba mencelakai suaminya. Hari itu adalah jadwal kunjung ke dokter. Dia beralasan sakit supaya hanya supir dan suaminya yang pergi. Dua orang itu tidak tahu bahwa rem mobil mereka sudah diputus supaya mereka bisa langsung menuju alam akhirat lewat jalan tol. Idenya datang dari selingkuhannya yang juga sering menganggur hingga punya waktu luang menonton sinetron. Dan mereka menunggu dengan gegap gempita.

Tak tahunya, karena membawa orang sakit, supir itu tidak terlalu kencang mengendarai mobil. Mereka memang celaka, namun tidak sampai ke kematian. Dan wanita tua itupun kecewa. Kecewa sekaligus sedikit lega. Masih ada nurani dalam dirinya ternyata.

Tahun-tahun berlalu, para anak-anaknya masih tidak bisa menerima ayah baru sebagai orang tua mereka. Tidak memberi apapun pada ibu mereka cuma-cuma. Mereka mempekerjakannya seperti pembantu. Dan wanita tua itupun tidak pernah memberi apa-apa pada mereka. Tidak sepeserpun uang saat mereka menikah, tidak juga hadiah pada cucu-cucunya saat lahir apalagi mengurus cucu-cucunya tanpa upah.

Usianya tak lagi panjang. Pelan-pelan rasa bersalah dan kesepian menggerogoti tubuhnya. Dia sakit-sakitan bersama suami yang dulu selingkuhannya. Tanpa ada anak dan cucu. Mereka terlalu jauh untuk dimintai tolong gratis. Dia hanya orang asing.

Orang asing tetaplah orang asing. Dia bahkan telah lupa siapa dirinya. Saat bertemu tuhan sudah dekat, apa yang akan dia bawa dia tak tahu. Hanya kegamangan memenuhi hidupnya dan bertanya, kenapa semua hal ini terjadi padaku?